Sejarah Arung Binang (Aroeng Binang)
Ada beberapa versi mengenai kisah Aroeng Binang, saya mengambil dari PATRAB (Paguyuban Trah Aroeng Binang) dan versi Babad Aroeng Binang.
Menurut versi Babad Aroeng Binang yang saya ambil dari blog aroengbinang yang disalin dalam huruf latin pada 1937 oleh Ki Mangoensoeparto dan dibuat dalam bentuk cerita (aslinya dalam bentuk syair Pupuh Dandanggula, Megatruh, Asmaradana), menyebutkan bahwa Joko Sangkrib adalah salah satu dari tujuh anak Kyai Hanggayuda. Tak ada nama Pangeran Puger disebut dalam babad ini. Ringkasan Babad Aroeng Binang yang ditulis dalam Bahasa Jawa itu saya tuliskan di bawah ini.
Ketika perjaka, seluruh badan Joko Sangkrib terkena penyakit kulit hingga bernanah dan menyebarkan bau amis, sampai-sampai saudara dan ayah ibunya tidak mau mendekat dan bahkan mengabaikannya. Ia kadang tidur di bawah pohon pisang, di emperan, kadang di kandang, dan kalau makan selalu di belakang sendirian. Karena tak tahan dengan penyakit dan perlakuan yang diterimanya, Joko Sangkrib akhirnya pergi meninggalkan rumah dan masuk ke dalam hutan, dan di sana ia menemukan sendang yang airnya bening. Kalau malam ia berendam di dalam sendang, kalau siang berjemur. Makan hanya buah dan dedaunan yang ada di hutan. Setelah 40 hari, penyakitnya sembuh sama sekali, tak ada belang satu pun yang tersisa.
Ia lalu pergi ke Bojong Sari untuk berguru pada Kyai Ahmad Yusup yang tersohor tinggi ilmunya. Agar tak dikenali, Joko Sangkrib memakai nama samaran Surawijaya. Karena sikap dan tutur katanya yang baik, Surawijaya diterima menjadi murid oleh Kyai Ahmad Yusuf. Setelah semua ilmu diturunkannya, sang kyai meminta Surawijaya pergi mengabdi ke Kutowinangun. Di perjalanan ia menyimpang ke Dusun Selang untuk berguru kepada Kyai Jahiman, namun ditolak karena sang kyai melihat bahwa Surawijaya adalah orang yang sudah "berisi". Surawijaya kemudian tiba di Dusun Prajuritan dan bertapa ngalong di sebuah Pohon Benda yang bawahnya gelap dan wingit.
Nalagati, pemilik pekarangan dimana Pohon Benda itu berada, datang pada hari kesembilan dan menurunkan Surawijaya dari pohon serta merawatnya hingga pulih. Nalagati mendapat petunjuk lewat mimpi bahwa orang yang ada di pohon inilah yang bisa menyembuhkan keluarganya dari penyakit lumpuh. Benar saja seluruh keluarga Nalagati bisa sembuh. Surawijaya diminta tinggal di sana dan akan dibuatkan rumah, namun ditolak. Ketika pamit pergi, Surawijaya akan diberi bekal yang pantas, namun ditolak dan hanya minta karag, manis jangan, dan kajeng legi.
Berjalan menuruti kaki, Surawijaya sampai di Karangbolong dan masuk ke Gua Menganti untuk menyepi. Samadinya diterima dan ia mendapat pusaka berupa cemeti (Naga Geni). Keluar dari gua, Surawijaya berjalan hingga masuk ke dalam Hutan Moros yang sangat angker, dan berhenti di tengah hutan yang sangat asri, tempat kerajaan para demit. Malamnya muncul wujud tinggi besar hitam bergigi putih bermuka menakutkan. Mahluk itu nujumnya Kangjeng Ratu Kidul bernama Kumbang Ali-Ali yang berkata bahwa kelak Surawijaya akan menjadi prajurit berpangkat tinggi yang dekat dengan raja. Kumbang Ali-Ali mengajari Surawijaya Aji Pametik. Jika sewaktu-waktu membutuhkan pertolongannya, Surawijaya diminta menancapkan tombak, merapal Aji Pametik, dan ia akan datang membantu dalam wujud kera besar berbulu putih.
Surawijaya melanjutkan perjalanan hingga sampai di Gunung Brecong dan berhenti di sana. Pagi ia berjalan ke Timur, siang ia berjalan ke Barat mengikuti jalannya matahari. Selama 15 hari melakukan itu ia hanya makan karag, dan dilanjut tapa pendhem di pinggir laut. Yang terlihat hanya leher ke atas. Setelah 20 hari, karena merasa kasihan, Surawijaya dikeluarkan dari dalam pasir oleh Nayadipa dari Dusun Gunaman dan dirawat hingga badannya kuat kembali. Setelah sebulan di sana, Surawijaya melanjutkan perjalan dan sampai ke Bukit Bulupitu, istana Dyah Ayu Dewi Nawangwulan, adik Dewi Nawangningrat ratunya para lelembut Laut Selatan.
Sampai di tengah bukit, Surawijaya menemukan sendang yang airnya bening, dan bersemedi di dekatnya. Setelah beberapa hari, lelembut penghuni bukit pun geger karena hawa yang panas. Dewi Nawangwulan tahu siapa yang membuat gara-gara. Ia pun datang menemui, dan singkat cerita ia diperistri oleh Surawijaya. Saat sang dewi membuka pintu kajiman, wujud bukit Bulupitu berubah menjadi kerajaan yang sangat besar.
Selanjutnya Babad Aroeng Binang menceritakan kembalinya Surawijaya ke Kutowinangun untuk mengembalikan kekuasaan ayahnya yang direbut oleh Prawirawigati, Demang Pakacangan. Sebelum meninggalkan Bulupitu dan memberi nama Soma Gedhe pada sendang tempat ia bersemedi, Surawijaya diberi pusaka Naraca Bala oleh Dewi Nawangwulan. Sesaat setelah keluar dari pintu, istana Bulupitu lenyap dan berubah menjadi bukit lagi.
Atas saran Dewi Nawangwulan agar mendapat perhatian raja, Surawijaya meminta para demang untuk tidak lagi mengirim pajak ke keraton. Utusan dari keraton pun datang untuk menangkapnya. Ketika dihadapkan pada patih dalem keraton, pada saat itu utusan dari Banyumas baru saja melaporkan keadaan genting di Banyumas karena diserang pasukan pemberontak yang dipimpin Damarwulan dan Menakkoncar, dibantu Ki Nurmungalam dan Kertabau, serta didukung pasukan dari Tegal dan Brebes.
Lolos dari hukum dipancung, Surawijaya akhirnya diperintah raja untuk menumpas pemberontakan di Banyumas agar kesalahannya diampuni. Pada hari kedua bertempur menghadapi pemberontak, saat mulai terdesak, Surawijaya turun dari kuda, menancapkan tombak (Kyai Regol), dan merapal Aji Pametik. Tiba-tiba prahara besar datang dengan bunyi yang menakutkan. Kera putih besar muncul berdiri di atas tombak dengan suara menggelegar memenuhi seluruh medan pertempuran, membuat pasukan musuh lari tunggang langgang. Damarwulan dan Menakkoncar berhasil dikalahkan Surawijaya dan dipancung kepalanya untuk dibawa ke Surakarta. Atas jasanya, Surawijaya kemudian diwisuda dengan pangkat mantri gladhag dan bergelar Kyai Hanggawangsa.
Saat menjadi mantri gladhag, Kyai Hanggawangsa diambil mantu oleh Patih Dalem. Karena kesetiaannya pada raja dan hatinya yang bersih, Kyai Hanggawangsa sering diminta membantu mengatasi persoalan ruwet terkait urusan kerajaan dan keprajuritan. Melihat jasanya yang begitu besar, Ngarsa Dalem Sang Prabu (Sunan Pakubuwono III) akhirnya mengangkatnya menjadi Bupati Nayaka dengan gelar Raden Tumenggung Aroeng Binang (tahun 1749).
Saat sudah sepuh ia tidak mau tinggal di Surakarta, dan kembali ke Kutowinangun sampai wafatnya. Kedudukannya digantikan oleh Raden Tumenggung Aroeng Binang II. Ketika Kompeni Belanda akan merubah kota menjadi kabupaten, putra keponakan R.T. Aroeng Binang II yaitu Aroeng Binang III memerintah di Mrinen sebelah timur Kutowinangun. Anak mantu R.T Aroeng Binang II, yaitu Kyai Kalapaking memerintah di Kebumen. Karena rebutan dengan saudara, Kyai Kalapaking mengalah. Kabupaten ia serahkan pada Kyai Tumenggung Aroeng Binang III, dan ia nrimo sebagai patihnya. Kabupaten Mrinen kemudian dibubarkan, digantikan dengan Kebumen hingga sekarang.
Sumber lainnya tentang Aroeng Binang adalah Babad Kebumen yang dikeluarkan oleh Patih Yogyakarta. Sebagian isinya bisa dibaca di wikipedia. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa RT Aroeng Binang I bersama Pangeran Wijil dan Tumenggung Yosodipuro I berhasil memindahkan Keraton Kartosura yang hancur saat Geger Pecinan ke Surakarta. Tumenggung Aroeng Binang I juga secara diam-diam melakukan misi rahasia untuk membantu membiayai perjuangan Pangeran Mangkubumi dalam apa yang disebut sebagai "Perang Kendang". Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi raja pertama Kasultanan Yogyakarta bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.
Lembar PATRAB menyebutkan bahwa dengan Dewi Nawangwulan di Bulupitu Aroeng Binang I (1679 - 1762) berputra Raden Bagus Klantung, Raden Bagus Cemeti, dan Raden Ayu Isbandiah; dengan istri Mas Ajeng Kuning asal Kalegen berputra R. Ayu Pangeran Blitar, R. Hanggadirjo (Kliwon, Kabupaten Sewu Surakarta), dan R. Ayu Kromo Wijoyo (Solo); dengan istri Mas Ajeng Dewi asal Winong berputra R. Ayu Wonoyudo (Tlogo Mirit), R. Wongso Dirjo (R.T. Aroeng Binang II), dan Mas Ajeng Wongsodiwiryo (Prembun); dengan Mas Ajeng Ragil dari Prajuritan berputra R. Wongsodikromo, penewu Sewu Solo yang dimakamkan di cungkup Makam Aroeng Binang II.
Menurut versi Babad Aroeng Binang yang saya ambil dari blog aroengbinang yang disalin dalam huruf latin pada 1937 oleh Ki Mangoensoeparto dan dibuat dalam bentuk cerita (aslinya dalam bentuk syair Pupuh Dandanggula, Megatruh, Asmaradana), menyebutkan bahwa Joko Sangkrib adalah salah satu dari tujuh anak Kyai Hanggayuda. Tak ada nama Pangeran Puger disebut dalam babad ini. Ringkasan Babad Aroeng Binang yang ditulis dalam Bahasa Jawa itu saya tuliskan di bawah ini.
Ketika perjaka, seluruh badan Joko Sangkrib terkena penyakit kulit hingga bernanah dan menyebarkan bau amis, sampai-sampai saudara dan ayah ibunya tidak mau mendekat dan bahkan mengabaikannya. Ia kadang tidur di bawah pohon pisang, di emperan, kadang di kandang, dan kalau makan selalu di belakang sendirian. Karena tak tahan dengan penyakit dan perlakuan yang diterimanya, Joko Sangkrib akhirnya pergi meninggalkan rumah dan masuk ke dalam hutan, dan di sana ia menemukan sendang yang airnya bening. Kalau malam ia berendam di dalam sendang, kalau siang berjemur. Makan hanya buah dan dedaunan yang ada di hutan. Setelah 40 hari, penyakitnya sembuh sama sekali, tak ada belang satu pun yang tersisa.
Ia lalu pergi ke Bojong Sari untuk berguru pada Kyai Ahmad Yusup yang tersohor tinggi ilmunya. Agar tak dikenali, Joko Sangkrib memakai nama samaran Surawijaya. Karena sikap dan tutur katanya yang baik, Surawijaya diterima menjadi murid oleh Kyai Ahmad Yusuf. Setelah semua ilmu diturunkannya, sang kyai meminta Surawijaya pergi mengabdi ke Kutowinangun. Di perjalanan ia menyimpang ke Dusun Selang untuk berguru kepada Kyai Jahiman, namun ditolak karena sang kyai melihat bahwa Surawijaya adalah orang yang sudah "berisi". Surawijaya kemudian tiba di Dusun Prajuritan dan bertapa ngalong di sebuah Pohon Benda yang bawahnya gelap dan wingit.
Nalagati, pemilik pekarangan dimana Pohon Benda itu berada, datang pada hari kesembilan dan menurunkan Surawijaya dari pohon serta merawatnya hingga pulih. Nalagati mendapat petunjuk lewat mimpi bahwa orang yang ada di pohon inilah yang bisa menyembuhkan keluarganya dari penyakit lumpuh. Benar saja seluruh keluarga Nalagati bisa sembuh. Surawijaya diminta tinggal di sana dan akan dibuatkan rumah, namun ditolak. Ketika pamit pergi, Surawijaya akan diberi bekal yang pantas, namun ditolak dan hanya minta karag, manis jangan, dan kajeng legi.
Berjalan menuruti kaki, Surawijaya sampai di Karangbolong dan masuk ke Gua Menganti untuk menyepi. Samadinya diterima dan ia mendapat pusaka berupa cemeti (Naga Geni). Keluar dari gua, Surawijaya berjalan hingga masuk ke dalam Hutan Moros yang sangat angker, dan berhenti di tengah hutan yang sangat asri, tempat kerajaan para demit. Malamnya muncul wujud tinggi besar hitam bergigi putih bermuka menakutkan. Mahluk itu nujumnya Kangjeng Ratu Kidul bernama Kumbang Ali-Ali yang berkata bahwa kelak Surawijaya akan menjadi prajurit berpangkat tinggi yang dekat dengan raja. Kumbang Ali-Ali mengajari Surawijaya Aji Pametik. Jika sewaktu-waktu membutuhkan pertolongannya, Surawijaya diminta menancapkan tombak, merapal Aji Pametik, dan ia akan datang membantu dalam wujud kera besar berbulu putih.
Surawijaya melanjutkan perjalanan hingga sampai di Gunung Brecong dan berhenti di sana. Pagi ia berjalan ke Timur, siang ia berjalan ke Barat mengikuti jalannya matahari. Selama 15 hari melakukan itu ia hanya makan karag, dan dilanjut tapa pendhem di pinggir laut. Yang terlihat hanya leher ke atas. Setelah 20 hari, karena merasa kasihan, Surawijaya dikeluarkan dari dalam pasir oleh Nayadipa dari Dusun Gunaman dan dirawat hingga badannya kuat kembali. Setelah sebulan di sana, Surawijaya melanjutkan perjalan dan sampai ke Bukit Bulupitu, istana Dyah Ayu Dewi Nawangwulan, adik Dewi Nawangningrat ratunya para lelembut Laut Selatan.
Sampai di tengah bukit, Surawijaya menemukan sendang yang airnya bening, dan bersemedi di dekatnya. Setelah beberapa hari, lelembut penghuni bukit pun geger karena hawa yang panas. Dewi Nawangwulan tahu siapa yang membuat gara-gara. Ia pun datang menemui, dan singkat cerita ia diperistri oleh Surawijaya. Saat sang dewi membuka pintu kajiman, wujud bukit Bulupitu berubah menjadi kerajaan yang sangat besar.
Selanjutnya Babad Aroeng Binang menceritakan kembalinya Surawijaya ke Kutowinangun untuk mengembalikan kekuasaan ayahnya yang direbut oleh Prawirawigati, Demang Pakacangan. Sebelum meninggalkan Bulupitu dan memberi nama Soma Gedhe pada sendang tempat ia bersemedi, Surawijaya diberi pusaka Naraca Bala oleh Dewi Nawangwulan. Sesaat setelah keluar dari pintu, istana Bulupitu lenyap dan berubah menjadi bukit lagi.
Atas saran Dewi Nawangwulan agar mendapat perhatian raja, Surawijaya meminta para demang untuk tidak lagi mengirim pajak ke keraton. Utusan dari keraton pun datang untuk menangkapnya. Ketika dihadapkan pada patih dalem keraton, pada saat itu utusan dari Banyumas baru saja melaporkan keadaan genting di Banyumas karena diserang pasukan pemberontak yang dipimpin Damarwulan dan Menakkoncar, dibantu Ki Nurmungalam dan Kertabau, serta didukung pasukan dari Tegal dan Brebes.
Lolos dari hukum dipancung, Surawijaya akhirnya diperintah raja untuk menumpas pemberontakan di Banyumas agar kesalahannya diampuni. Pada hari kedua bertempur menghadapi pemberontak, saat mulai terdesak, Surawijaya turun dari kuda, menancapkan tombak (Kyai Regol), dan merapal Aji Pametik. Tiba-tiba prahara besar datang dengan bunyi yang menakutkan. Kera putih besar muncul berdiri di atas tombak dengan suara menggelegar memenuhi seluruh medan pertempuran, membuat pasukan musuh lari tunggang langgang. Damarwulan dan Menakkoncar berhasil dikalahkan Surawijaya dan dipancung kepalanya untuk dibawa ke Surakarta. Atas jasanya, Surawijaya kemudian diwisuda dengan pangkat mantri gladhag dan bergelar Kyai Hanggawangsa.
Saat menjadi mantri gladhag, Kyai Hanggawangsa diambil mantu oleh Patih Dalem. Karena kesetiaannya pada raja dan hatinya yang bersih, Kyai Hanggawangsa sering diminta membantu mengatasi persoalan ruwet terkait urusan kerajaan dan keprajuritan. Melihat jasanya yang begitu besar, Ngarsa Dalem Sang Prabu (Sunan Pakubuwono III) akhirnya mengangkatnya menjadi Bupati Nayaka dengan gelar Raden Tumenggung Aroeng Binang (tahun 1749).
Saat sudah sepuh ia tidak mau tinggal di Surakarta, dan kembali ke Kutowinangun sampai wafatnya. Kedudukannya digantikan oleh Raden Tumenggung Aroeng Binang II. Ketika Kompeni Belanda akan merubah kota menjadi kabupaten, putra keponakan R.T. Aroeng Binang II yaitu Aroeng Binang III memerintah di Mrinen sebelah timur Kutowinangun. Anak mantu R.T Aroeng Binang II, yaitu Kyai Kalapaking memerintah di Kebumen. Karena rebutan dengan saudara, Kyai Kalapaking mengalah. Kabupaten ia serahkan pada Kyai Tumenggung Aroeng Binang III, dan ia nrimo sebagai patihnya. Kabupaten Mrinen kemudian dibubarkan, digantikan dengan Kebumen hingga sekarang.
Sumber lainnya tentang Aroeng Binang adalah Babad Kebumen yang dikeluarkan oleh Patih Yogyakarta. Sebagian isinya bisa dibaca di wikipedia. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa RT Aroeng Binang I bersama Pangeran Wijil dan Tumenggung Yosodipuro I berhasil memindahkan Keraton Kartosura yang hancur saat Geger Pecinan ke Surakarta. Tumenggung Aroeng Binang I juga secara diam-diam melakukan misi rahasia untuk membantu membiayai perjuangan Pangeran Mangkubumi dalam apa yang disebut sebagai "Perang Kendang". Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi raja pertama Kasultanan Yogyakarta bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.
Lembar PATRAB menyebutkan bahwa dengan Dewi Nawangwulan di Bulupitu Aroeng Binang I (1679 - 1762) berputra Raden Bagus Klantung, Raden Bagus Cemeti, dan Raden Ayu Isbandiah; dengan istri Mas Ajeng Kuning asal Kalegen berputra R. Ayu Pangeran Blitar, R. Hanggadirjo (Kliwon, Kabupaten Sewu Surakarta), dan R. Ayu Kromo Wijoyo (Solo); dengan istri Mas Ajeng Dewi asal Winong berputra R. Ayu Wonoyudo (Tlogo Mirit), R. Wongso Dirjo (R.T. Aroeng Binang II), dan Mas Ajeng Wongsodiwiryo (Prembun); dengan Mas Ajeng Ragil dari Prajuritan berputra R. Wongsodikromo, penewu Sewu Solo yang dimakamkan di cungkup Makam Aroeng Binang II.
Komentar
Posting Komentar